Kebangkitan Sistem ekonomi Islam Abad 20

07/10/2015 | 8.843 kali
Umum

Kebangkitan Kembali Sistem Ekonomi Islam Abad 20

Oleh: Toni Regal, ME. Sy

 A.      Kebangkitan Kembali Sistem Ekonomi Islam

Era kebangkitan bermula pada tahun 1930an dengan berkembangnya pemikiran mengenai asas falsafah ekonomi Islam dan prinsip-prinsipnya. Ini menjadi landasan kepada bentuk-bentuk pengkajian yang lain. Kajian sebagian lebih menumpu kepada penguraian bagian-bagian tertentu dalam ekonomi Islam seperti riba, harga, hak milik swasta dan umum, kebebasan ekonomi, hisbah dan lain-lain. Kajian menyeluruh  adalah bertujuan untuk menyingkap prinsip dan strategi ekonomi Islam secara menyeluruh. Di antara kajian tersebut ialah; Al-Iqtisad al-Islami wal Iqtisad al-Mu’asyir oleh M. Abdullah al-Arabi, Al-Iqtisaduna oleh M. Baqir al-Sadr dan Nizamul Islam al-Iqtisad oleh Muhammad al-Mubarak.

Gema Kebangkitan Islam yang berlaku di era 1970an untuk mengembalikan umat Islam kepada cara hidup Islam yang benar telah mencetuskan dorongan baru kepada intelektual Islam untuk mengkaji bidang politik, ekonomi dan sosial selaras dengan ajaran Islam. Kebangkitan pemikiran ekonomi Islam telah menyebabkan berlangsungnya seminar-seminar mengenai ekonomi Islam seperti First International Conference on Islamic Economic di London 1976, The Muslim World and Future Economic Order Conference di London 1977, International Seminar on the Monetery and Fiscal Economic di Makkah 1978, The Seminar on Islamic Economics di Dacca 1979, Seminar on Islamic Banking di Dacca 1980 dan The International Seminar on Monetery and Fiscal Economics of Islam di Islamabad 1981.[1]

  1. B.       Kebangkitan Literatur Ekonomi Islam

Berbagai faktor tampaknya telah memicu perasaan religius di antara para penulis untuk mengembangkan karya tentang ekonomi Islam. Kegiatan intensif yang bertujuan untuk memobilisasi umat Islam menuju kembali ke nilai-nilai Islam dan keyakinan di dalamnya sebagai cara hidup dalam masyarakat muslim kontemporer dengan maksud untuk memberikan perlawanan terhadap model sekuler.

Lima faktor utama yang bisa dikatakan telah membantu meningkatkan perkembangan literatur ekonomi Islam pada periode itu, yaitu:[2]

  1. Motivasi pribadi dari penulis itu sendiri yang didorong oleh semangat keagamaan mereka untuk mempromosikan ekonomi Islam.
  2. Dukungan lembaga dan organisasi akademik dan non-akademik yang pro gerakan Islam dalam misi mereka.
  3. Masyarakat yang agamis.
  4. Organisasi atau perkumpulan mahasiswa Muslim.
  5. Dedikasi penerbit.

Judul literatur mencakup berbagai topik, diantaranya: filosofi ekonomi Islam, (80 kutipan), sistem ekonomi Islam, (418 judul), kritik Islam ekonomi kontemporer, (lebih dari 100 kutipan), analisis ekonomi dalam kerangka Islam, (sekitar 50 kutipan), sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam, (40 kutipan), dan bibliografi.[3]

Kemunculan ilmu ekonomi Islam modern di panggung internasional, ditandai dengan kehadiran para pakar ekonomi Islam kontemporer, seperti Mannan, Nejatullah Shiddiqi, Haider Naqvi, Ash-Shadr, Umer Chapra, dll. Diantara karya-karya mereka yang memberikan pengaruh pada perkembangan ekonomi Islam antara lain:

  1. Islamic Economics; Theory and Practice, The Making of Islamic Economic Society dan The Frontiersof Islamic Economis (M. A. Mannan).
  2. Some Aspects of The Islamic Economy, The Economic Enterprise in Islam, Survey on Muslim Economic Thought (Nejatullah Shiddiqi).
  3. Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (Haider Naqvi).
  4. Iqtishaduna (Baqir Ash-Shadr)
  5. The Future of Economics (Umer Chapra).

Topik-topik yang menjadi fokus utama para ekonom Islam dalam menuliskan karyanya di abad kedua puluh diantaranya adalah:[4]

  1. Zakat dan Perpajakan
  2. Penghapusan Riba
  3. Perbankan Bebas Bunga
  4. Kebijakan Moneter, Kebijakan Fiskal dan Alokasi Sumber Daya Islam
  5. Teori Ekonomi Islam, Etika dan Ekonomi
  6. Perilaku Konsumen
  7. Asuransi
  8. Kerjasama Ekonomi Antara Negara-Negara Muslim
  9. Indeksasi

10.  Pembangunan Ekonomi

C.      Perkembangan Intelektual dan Kajian Ekonomi Islam

 1.      Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsha yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969 telah menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam. Atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II dari Maroko, dengan Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger, Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan Maroko, terselenggara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam yang pertama pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat, Maroko. Konferensi ini merupakan titik awal bagi pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI).[5] Tujuan Organisasi Konferensi Islam (OKI) ini adalah:

1)   Memajukan solidaritas Islam di antara negara-negara anggota.

2)   Memperkuat kerja sama antara negara-negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan bidang-bidang lainnya serta mengadakan perundingan.

3)   Mengupayakan seoptimal mungkin untuk menghilangkan pemisahan rasial, diskriminasi serta menghilangkan kolonialisme dalam berbagai bentuk.

4)   Mengatur usaha melindungi tempat-tempat suci, menyokong perjuangan rakyat Palestina, dan membantu rakyat Palestina dalam memiliki kembali hak-hak mereka untuk membebaskan tanah Palestina.

5)   Membentuk suasana yang harmonis demi meningkatkan kerja sama dan pengertian di antara sesama negara anggota OKI maupun negara-negara lain.

6)   Memperkuat perjuangan umat Islam dalam melindungi martabat umat, ketidaktergantungan, dan hak setiap negara Islam.[6]

2.      Konferensi Internasional Pertama tentang Ekonomi Islam

Konferensi Internasional Pertama tentang Ekonomi Islam diadakan di Makkah, Arab Saudi, di bawah naungan King Abdul Aziz University Jeddah, 21-26 Februari 1976 (1396 H). Sekitar dua ratus ekonom Muslim dan Ulama-ulama memiliki kesempatan untuk mempresentasikan makalah, mengadakan seminar, diskusi dan bertukar pandangan mengenai subjek yang selalu dekat dengan hati mereka. Makalah yang disajikan meliputi:

  1. Konsep dan metodologi ekonomi Islam,
  2. Produksi dan konsumsi dalam ekonomi Islam,
  3. Peran negara dalam ekonomi Islam,
  4. Asuransi dalam kerangka kerja  shari’ah ,
  5. Bebas bunga perbankan ,
  6. Zakat, pajak, dan kebijakan fiskal ,
  7. Pembangunan ekonomi dalam kerangka Islam ,
  8. Kerjasama ekonomi antara negara-negara Muslim ,
  9. Kepentingan umum,
  10. Dua survei literatur ekonomi Islam kontemporer : Pemikiran ekonomi Islam dan Literatur Turki kontemporer pada ekonomi Islam.[7]

3.      The International Centre for Research in Islamic Economic ( ICRIE )

Didirikan pada tahun 1977 dengan tujuan sebagai berikut[8]:

  1. Pembentukan perpustakaan khusus yang akan mengumpulkan para ahli di bidang ekonomi Islam dan mengeluarkan katalog dalam berbagai bahasa untuk penelitian para sarjana.
  2. Melakukan dan mendukung penelitian teoritis dan diterapkan di berbagai bidang ekonomi Islam, menerbitkan buku teks di lapangan untuk digunakan di universitas Muslim dan menyelenggarakan kursus pelatihan yang dibutuhkan oleh perusahaan ekonomi Muslim .
  3. Menyediakan fasilitas dan beasiswa bagi para sarjana Muslim untuk melakukan penelitian.
  4. Mempromosikan kerjasama di bidang penelitian ekonomi Islam antara berbagai universitas dan lembaga .
  5. Mempublikasikan makalah penelitian dan majalah di bidang ekonomi Islam.

4.      The Islamic Research and Training Institute ( IRTI )

Berasal dari Bank Pembangunan Islam, IRTI didirikan di Jeddah, Arab Saudi, pada tahun 1981. Fungsi IRTI adalah sebagai berikut[9]: 

  1. Mengatur dan melakukan penelitian dasar dan terapan dengan maksud untuk mengembangkan model dan metode aplikasi syari’ah di bidang ekonomi, keuangan dan perbankan.
  2. Menyediakan pelatihan dan pengembangan tenaga professional ekonomi Islam untuk memenuhi kebutuhan penelitian dan pengamatan lembaga syariah.
  3. Mendirikan pusat informasi, menyebarkan Informasi di lapangan yang berkaitan dengan kegiatannya, dan
  4. Melakukan kegiatan lain yang dapat memajukan tujuannya.

5.      The International Institute of Islamic Thought ( IIIT )

IIIT didirikan tahun 1981 dengan tujuan upaya ulama dan intelektual untuk merevitalisasi peran Islam dalam masyarakat saat ini. Karya besar pertama yang dilakukan oleh IIIT adalah menyelenggarakan organisasi konferensi internasional tentang "Pengetahuan Islam", di Universitas Islam Internasional Islamabad, Pakistan. Beroperasi dari kantor pusatnya di Virginia, USA, IIIT menyelenggarakan seminar, simposium dan konferensi, menerbitkan penelitian, tesis akademik dan buku teks, dan memberikan beasiswa untuk para peneliti[10].

6.      Universitas Islam Internasional ( Malaysia )

Tujuan pembentukan IIUM pada tahun 1983 adalah pemenuhan salah satu aspirasi utama dari komunitas Muslim kontemporer untuk mendapatkan kembali kepemimpinan umat dalam upaya untuk pembangunan pengetahuan. IIUM beroperasi di bawah arahan Dewan Gubernur, dan kedelapan anggota dewan tersebut adalah perwakilan dari pemerintah dan Organisasi Konferensi Islam (OKI).

IIUM berkomitmen untuk menghidupkan kembali dan merevitalisasi konsep-konsep Islam yang menganggap pencarian pengetahuan sebagai suatu tindakan ibadah dan semangat ilmu sesuai dengan firman Allah dalam kitab suci Al- Qur’an. Upaya universitas untuk memperkenalkan pengajaran dan pembelajaran terpadu bersama dengan penanaman nilai-nilai moral dan spiritual melalui Integrasi,  Islamisasi, Internasionalisasi dan Komprehensif Excellence[11].

7.      The International Islamic University ( Islamabad )

Universitas Islam Islamabad didirikan pada abad kelima belas Hijrah yaitu 1 Muharram 1401 (11 November 1980). Universitas ini terletak di sekitar Masjid Faisal, simbol persaudaraan dan persatuan Islam. [12]

D.      Awal Kelahiran Sistem Perbankan Syariah

Sejak awal kelahirannya, perbankan syariah dilandasi dengan kehadiran dua gerakan renaissance Islam modern: neorevivalis dan modernis. Tujuan utama pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Upaya awal penerapan sistem Profit dan Loss Sharing tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara non konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Rural Bank di Desa Mit Ghamr pada tahun 1963 dikairo, Mesir.

Setelah dua rintisan awal yang cukup sederhana itu, Bank Islam tumbuh dengan sangat pesat. Sesuai dengan analisa Prof. Khursid Ahmad dan laporan International Asssocoiation of Islamic Bank, hingga akhir 1999 tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia, baik di negara-negara berpenduduk muslim maupun di Eropa, Australia, maupun Amerika.[13]

Saat ini, nama besar dalam dunia keuangan international seperti Citibank, Jardine Flemming, ANZ, Chasechemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain telah membuka cabang yang berdasarkan syariah. Dalam dunia pasar modal pun, Islamic Fund kini ramai diperdagangkan. Suatu hal yang mendorong singa pasar modal dunia Dow Jones untuk menerbitkan Islamic Dow Jones Index. Scharf, mantan direktur utama Bank Islam Denmark, menyatakan bahwa Bank Islam adalah partner baru pembangunan.[14]

1.      Mit Ghamr Bank

                  Rintisan perbankan syariah mulai terwujud di Mesir pada dekade 1960-an dan beroperasi sebagai rural-social Bank (semacam lembaga keuangan unit desa di Indonesia) di sepanjang delta Sungai Nil. Lembaga dengan nama Mit Ghamr Bank binaan Prof. Dr. Ahmad Najjar tersebut mampu menjadi pemicu yang sangat berarti bagi perkembangan sistem financial dan ekonomi islam.[15]

2.      Islamic Development Bank

      Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Konferensi Islam di Karachi, Pakistan, Desember 1970, Mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan Bank Syariah. Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, Sidang menyetujui rencana mendirikan Bank Islam International dan Federasi Bank Islam. Proposal tersebut antara lain mengusulkan untuk:

  1. Mengatur transaksi komersial antarnegara Islam;
  2. Mengatur institusi pembangunan dan investasi;
  3. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral Syariah di negara Islam;
  4. Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar bank sentral di negara Islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya sistem ekonomi Islam yang terpadu;
  5. Mengatur administrasi dan mendayagunakan dana zakat;
  6. Mendukung upaya bank sentral di negara Islam dalam hal pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam;
  7. Mengatur kelebihan likuditas bank-bank sentral negara Islam.

       Diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-Negara Islam. Badan tersebut berfungsi sebagai berikut:

  1. Mengatur investasi modal Islam.
  2. Menyeimbangkan antara investasi dan pembangunan di Negara Islam.
  3. Memilih lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya.
  4. Memberi saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang untuk investasi regional di negara-negara Islam.

      Proposal tersebut mengusulkan pembentukan perwakilan-perwakilan khusus, yaitu Asosiasi Bank-Bank Islam sebagai badan konsultatif untuk masalah-masalah ekonomi dan perbankan syariah. Tugas badan ini diantaranya menyediakan bantuan teknis bagi negara-negara Islam yang ingin mendirikan Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syariah. Bentuk dukungan teknis tersebut dapat berupa pengiriman para ahli ke negara tersebut, penyebaran atau sosialisasi sistem perbankan Islam, dan saling tukar informasi dan pengalaman antar negara Islam.[16]

      Pada sidang menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya, Maret 1973, memutuskan agar OKI mempunyai bidang khusus menangani masalah ekonomi dan keuangan. Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak, bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian Bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dibahas pada pertemuan kedua, Mei 1974. Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milliar dinas Islam atau ekuivalen 2 miliar SDR (Special Drawing Right).

      IDB terbukti mampu memainkan peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan negara-negara Islam untuk pembangunan. Bank ini memberikan pinjaman bebas bunga untuk proyek infrastruktur dan pembiayaan kepada negara anggota berdasarkan partisipasi modal negara tersebut. Dana yang dibutuhkan dengan segera digunakan bagi perdagangan luar negeri jangka panjang dengan menggunakan sistem murabahah dan ijarah.[17]

E.       Pembentukan Bank-Bank Syariah

Fungsi-fungsi yang lazimnya dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsi-fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-932). Sementara itu, saq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).[18]

Melihat pentingnya institusi perbankan maka berdirilah gerakan lembaga keuangan Islam modern pertama kali yang muncul di Mesir. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Pada tahun 1971, Nasir Social Bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat Islam. Melihat hal ini, dicetuskanlah ide tentang konsep ekonomi Islam di dunia Internasional yang mulai muncul tahun 70-an. Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi  Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad-Pakistan, Maret 1983.[19]

Sejalan dengan ini mulai terbentuklah Islamic Development Bank (IDB) yang  berdiri pada tahun 1975. IDB bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya, serta menyediakan jasa pinjaman berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam. Pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis Islam muncul. Di Timur Tengah berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Sejak dibentuknya Islamic Development Bank tahun 1975 di Jeddah, institusi-institusi ekonomi Islam banyak bermunculan. Hal ini semakin diperkuat dengan publikasi artikel yang dimuat oleh zonaekis.com, menyatakan fakta bahwa:

“Pada saat krisis ekonomi menghantam dunia dua tahun lalu, perbankan Islam menjadi juru selamat. Sistem ini menjadi area pertumbuhan utama untuk pembiayaan internasional. Memang asetnya hanya mewakili sekitar 2 persen sampai 3 persen dari aset keuangan global, atau hampir 1 triliun dolar AS, tetapi tumbuh rata-rata 25 persen setiap tahun. Kini banyak negara berlomba untuk menjadi pusat global bisnis keuangan syariah. London jauh di depan dibanding New York: menjadi mercusuar ekonomi syariah di Eropa.”[20]

Sistem ekonomi Islam menjadi alternatif pilihan karena sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem-sistem ekonomi yang lain. Tujuan ekonomi Islam bukan semata-mata pada materi saja, tetapi mencakup berbagai aspek seperti: kesejahteraan, kehidupan yang lebih baik, memberikan nilai yang sangat tinggi bagi persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi, dan menuntut suatu kepuasan yang seimbang, baik dalam kebutuhan materi maupun rohani bagi seluruh ummat manusia.

Saat ini, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga perbankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of Economics. Namun, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan.[21]Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut: Pertama, perhatian utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan embargo minyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan Palestina.

Mengiringi kondisi obyektif di atas, perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai faktor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu:

  1. Telah terumuskanya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an
  2. Lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur;
  3. Lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.[22]

       Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan Lembaga Keuangan Syariah. Komite ahli IDB pun bekerja keras menyiapkan panduan tentang pendirian, peraturan, dan pengawasan Bank Syariah. Kerja keras mereka membuahkan hasil. Pada akhir periode 1970-an dan awal dekade 1980-an, bank-bank Syariah di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, serta Turki banyak berdiri. Secara garis besar, lembaga-lembaga tersebut dapat dimasukan ke dalam dua kategori. Pertama, Bank Islam Komersial (Islamic Comersial Bank). Kedua, Lembaga Investasi dalam bentuk International Holding Companies.

Bank-Bank yang masuk kategori pertama, diantaranya:

  1. Faisal Islamic Bank (di Mesir dan Sudan)
  2. Kuwait Finance House
  3. Dubai Islamic Bank
  4. Jordan Islamic Bank for Finance and Investment
  5. Bahrain Islamic Bank
  6. Islamic International Bank for Investment and Development (Mesir)

Adapun yang termasuk kategori kedua:

  1. Daar al-Maal al-Islami (Jenewa),
  2. Islamic Investment Company of the Gulf
  3. Islamic Investment Company (Bahama)
  4. Islamic Investment Company (Sudan)
  5. Bahrain Islamic Investment Bank (Manama)
  6. Islamic Investment House (Amman).[23]

F.       Muhammad Baqir As-Sadr (Iqtishaduna)

 Bagi Sadr, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk dijalani  dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan memecahkan masalah ekonomi praktis sejalan dengan  konsepnya tentang keadilan. Ekonomi Islam adalah sebuah doktrin karena ia membicarakan semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan.[24]

Sadr menolak jika dikatakan bahwa ekonomi Islam itu sama saja dengan fiqh mu’amalat ataupun hukum-hukum yang berhubungan dengan hak kepemilikan. Sadr meyakini akan adanya suatu ‘sistem ekonomi yang telah selesai terbentuk dengan sempurna’ meskipun belum secara eksplisit ternyatakan di dalam sumber-sumber Islam.

1.    Karakteristik Sistem Ekonomi Islam[25]

a.      Hubungan Kepemilikan

Sistem ekonomi Islam memiliki bermacam-macam bentuk kepemilikan:

1)      Kepemilikan swasta;

2)      Kepemilikan bersama:

i.  Kepemilikan oleh publik

ii. Kepemilikan oleh negara

Kepemilikan swasta atau pribadi terbatas pada hak memakai, prioritas untuk menggunakan dan hak untuk melarang orang lain dalam menggunakan sesuatu yang menjadi miliknya. Kepemilikan swasta atau pribadi dapat diperoleh dengan bekerja. Perbedaan kepemilikan publik dan negara terletak pada cara penggunaan barang yang bersangkutan. Kepemilikan publik harus digunakan untuk kepentingan seluruh anggota masyarakat. Kepemilikan negara dapat digunakan tidak hanya bagi kebaikan semua orang, melainkan juga untuk suatu bagian tertentu dari masyarakat, jika negara memang menetapkan demikian.

b.      Pengambilan Keputusan, Alokasi Sumber dan Kesejahteraan Publik: Peranan Negara

Negara memilki tanggung jawab yang lebih besar untuk menegakkan keadilan. Hal ini dapat dicapai melalui berbagai fungsi:

1)      Distribusi sumber daya alam kepada individu didasarkan pada kemauan dan kapasitas kerja mereka.

2)      Implementasi aturan agama dan hukum terhadap penggunaan sumber.

3)      Menjamin keseimbangan sosial dengan memberikan standard of living yang seimbang bagi semua orang.

4)      Mewujudkan jaminan sosial bagi semua orang.

5)      Pengawas kegiatan ekonomi.

c.       Pelarangan Riba dan Implementasi Zakat

Pelarangan riba dan segala bentuk eksploitasi. Sadr memandang implementasi zakat sebagai kewajiban negara. Ia juga membahas khums, fay’, anfal dan pajak-pajak lain yang dapat dipungut dan dibelanjakan untuk maksud-maksud pengentasan kemiskinan dan untuk menciptakan keseimbangan sosial.

2.    Distribusi

Sadr membagi pembahasan distribusi menjadi dua bagian:

a.      Pre-Production Distribution

Dalam membahas status kepemilikan sumber daya alam, Sadr membagi sumber daya alam menjadi empat kategori, yakni tanah, bahan mentah di dalam tanah, air dan sumber daya lain[26]. Ada beberapa hal yang perlu disebutkan:

1)      Kepemilikan oleh negara adalah jenis kepemilikan yang paling sering, meskipun hak pakai dapat diperoleh dari negara.

2)      Kepemilikan swasta hanya diizinkan di dalam sejumlah kecil keadaan:

a)        Tanah yang digarap di wilayah penduduk yang menerima Islam secara sukarela;

b)        Jika ditetapkan di dalam perjanjian;

c)        Mineral tersembunyi yang memerlukan usaha untuk mendapatkannya;

d)       Sumber daya lain, yakni melalui kerja atau tenaga kerja orang

3)      Kepemilikan swasta hanya terbatas pada hak pakai, prioritas penggunaan dan hak untuk mencegah orang lain memakai barang yang sedang dimiliki oleh orang lain.

4)      Untuk mineral dan air, individu diperkenankan untuk menggunakan apa yang mereka perlukan.

Dalam pengertian ekonomi, tenaga kerja memberi berbagai tingkatan hak tergantung pada sifat sumber daya alam dan lingkungannya:

1)      Tenaga kerja ekonomi memberi hak kepada kepemilikan produk tenaga kerja itu oleh swasta;

2)      Tenaga kerja ekonomi memberi hak kepemilikan kepada sumber daya alam;

3)      Tenaga kerja ekonomi memberikan kepada individu prioritas penggunaan sesuatu barang dan hak untuk mencegah orang menggunakan milik orang lain ataupun merampasnya;

4)      Semua hak tersebut lenyap jika tenaga kerja ekonomi tidak ada.  

Kepemilikan tanah dan sumber daya lain dimiliki oleh negara dan individu harus membayar pajak tanah kepada negara. Meskipun Sadr tidak menyebut secara eksplisit bahwa luas tanah harus dibatasi, namun ia menyebutkan dua hal:

1)      Tanah ‘swasta’ akan tetap menjadi tanah swasta selama ada tenaga kerja yang terlibat, yakni selama tanah itu digarap;

2)      Hak pakai diberikan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mengerjakan.[27]

b.      Post-Production Distribution

 ‘Tenaga kerja ekonomi’ merupakan syarat perlu bagi kepemilikan produk. Daftar imbalan bagi masing-masing faktor produksi:

1)      Tenaga kerja ---- upah atau bagian laba.

2)      Tanah ---- sewa (atau bagi hasil tanam)

3)      Modal uang ---- bagian laba

4)      Alat/modal fisik ---- upah/kompensasi[28]

3.    Produksi

Sadr membedakan dua aspek produksi. Pertama adalah aspek objektif atau aspek ilmiah yang berhubungan dengan sisi teknis dan ‘ekonomis’ seperti alat-aalat analisis yang digunakan, hukum-hukum produksi, fungsi biaya, dan sebagainya. Kedua adalah aspek subjektif atau doktrin.[29] Dalam rangka memberikan pandangan yang sehat mengenai produksi Islam, Sadr memiliki dua cabang strategis:

a.      Strategi Doktrin/Intelektual

Manusia termotivasi untuk bekerja karena dipandang sebagai ibadah jika dilaksanakan dengan pemahaman dan niat. Membiarkan sumber menganggur, melakukan pengeluaran mubazir ataupun produksi barang-barang haram adalah terlarang.[30]

b.      Strategi Legislatif

Legislasi dapat mendukung doktrin dengan membolehkan negara menjalankan dan meregulasi kegiatan ekonomi. Ada banyak contoh yang disampaikan Sadr:[31]

1)      Tanah menganggur dapat disita oleh negara dan di redistribusikan kepada mereka yang mau dan mampu menggarapnya;

2)      Larangan Islam terhadap hima’, yakni memiliki tanah dengan paksa;

3)      Prinsip ‘tak ada kerja, tak ada hasil’;

4)      Pelarangan transaksi ‘tidak produktif’, seperti membeli murah dan menjual mahal tanpa bekerja.

5)      Pelarangan riba (bunga uang);

6)      Pelarangan kegiatan ‘tak produktif’ atau tak diharapkan, seperti judi;

7)      Dilarangnya penimbunan (uang maupun barang);

8)      Pelarangan kegiatan yang menyebabkan lupa kepada Allah Swt.;

9)      Dilarangnya pemusatan dan konsentrasi kekayaan;

10)  Meregulasi dan mengecek manipulasi pasar;

11)  Dilarangnya tindakan yang berlebihan maupun pengeluaran mubadzir.

Negara dipandang sebagai “wali/penjaga”, menjadi pemimpin di semua sektor produksi, menyelia, merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan bagi kebaikan semua orang. Dalam hal barang-barang kebutuhan dasar, maka keterlibatan negara tidaklah diragukan lagi. Sadr lebih menyukai penyeliaan daripada keterlibatan langsung negara di dalam produksi.[32] 

 

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta. Gema Insani Press.

Chapra, M. Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi sebuah Tinjauan Islam. Jakarta. Gema Insani Press.

---------------------. 2000. Islam dan Pembangunan Ekonomi (terjemahan). Jakarta. Gema Insani Press.

El-ashker, Ahmed A.F. and Wilson, Rodney. 2006. Islamic Economics A Short History.

Karim, Adiwarman Karim. 2010. Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Ka’bah , Rifyal. 1999. Hukum Islam Indonesia. Jakarta. Universitas Yarsi.

Syahdeini , Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta. Grafiti.

Ahmad, Zianuddin Ahmad. 1985. “The Present State of Islamic Finance Movement”, Journal of Islamic Banking and Finance. Autum.

Ansari, Javed Ansari. 1985. Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam. PLP2M. Yogyakarta.

 



[1] http://mzuhairi.blogspot.com/2012/06/ekonomi-islam/4 html , diakses pada tanggal 7 Desember 2013

[2] Ahmed A.F. El-ashker and Rodney Wilson, Islamic Economics A Short History, (2006). Hal 350

[3] Ibid. Hal 348

[4] Ibid. Hal 355-356

[7] Ahmed El Ashker dan Rodney Wilson, op. cit h. 338-339

[8] Ibid. Hal 340

[9] Ibid. Hal 341

[10] Ibid. Hal 342-343

[11] Ibid. Hal 343-344

[12]Ibid. Hal 345

[13] Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001) hlm 18

[14] Ibid. Hal 19

[15]Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001) hlm 19

[16] Zianuddin Ahmad, “The Present State of Islamic Finance Movement”, Journal of Islamic Banking and Finance, (Autum, 1985) hal 48

[17]Antonio, Syafi’i. Op. Cit. Hlm 19-21

[18] Sudin Haron, Islamic Banking: Rules and Regulations, Pelanduk Publications, Petaling Jaya, 1997, h. 2. 

[19] Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari Islamabaddalam Islamisasi Ekonomi: suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam , PLP2M, ( Yogyakarta: 1985), h. 100-111

[20] http://www.zonaekis.com, diakeses pada tanggal 2 Desember 2013

[21] Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010) Hal xii

[22] Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta : Grafiti ,1999), hal. 4-5

[23]Antonio, Syafi’i. Op. cit. Hlm 21-22

[24] Mohamed Aslam Haneef, Pemikiran Ekonomi Islam Kontemporer: Analisis Komparatif Terpilih  (Jakarta: Rajawali Press, 2010) Hal 133

[25] Ibid. Hal 138-140

[26] Muhammad Baqir Ash Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna (Jakarta: Zahra 2008) Hal 156

[27]Mohamed Aslam Haneef. Op. Cit. Hal 142-145

[28] Ibid. Hal 147

[29] Muhammad Baqir Ash Shadr. Op. Cit. Hal 393

[30] Mohamed Aslam Haneef. Op. Cit. Hal 149

[31] Muhammad Baqir Ash Shadr, Op. Cit. Hal 405-418

[32] Mohamed Aslam Haneef. Op. Cit. Hal 150


Share:
Berita & Artikel Lainnya

Safari Dakwah Literasi Santri

 Safari Dakwah Literasi Santri Darussalam.tasik.or.id-Safari Dakwah Literasi Santri dilaksanakan di beberapa ...

Penutupan Kegiatan Kepramukaan

https://www.darussalam-tasik.or.id -Penutupan Kegiatan Kepramukaan di Pondok Pesantren Darussalam Rajapolah Tasikmalaya(10/11/22)             Menjelang ...